Cerita ini adalah ending dari Cerpen "Inikah Kisah Cinta?"
"Papa kamu mana? Aku mau kenalan sekalian pamit" itu yang kukatakan saat kami sampai di rumah Maya.
Membaca mimik wajahnya yang gugup, sepertinya dia agak ketakutan saat aku menanyakan papanya. Sebenarnya aku lebih gugup, tapi aku harus tampak se-gentle mungkin di hadapan Maya. Bagaimanapun, sedikit pencitraan akan diperlukan saat kau akan melamar seorang wanita. Tunggu dulu, apa benar aku sudah siap melamarnya begitu saja? Apa papanya Maya masih mengingat 4 tahun yang lalu saat ia memberikan tantangan itu padaku?
Jadi, sekitar 4 tahun lalu...
Seorang bapak mendekatiku yang baru saja beres mengamen 1 lagu di hadapannya. "Ikut makan yuk, dek".
"Eh? Makasih Pak, tapi saya mau lanjut ngamen."
"Sebentar saja, dek. Sekalian ngobrol kita." Bapak itu menahan.
Akhirnya aku mengiyakan ajakannya untuk makan bersamanya. Sambil makan kami berbincang sesekali, beliau bertanya tentang kegiatanku mengamen dan jadi ketua anak jalanan sekitar Kebayoran, juga sedikit isu jalanan Jakarta. Sampai akhirnya beliau bertanya "Kalau nggak salah, kamu itu puteranya Pak Dharma Antoro ya?"
Sedikit tersedak, langsung saja aku bertanya "Hmm, iya Pak. Tapi, Bapak tahu dari mana?"
"Saya ingat Pak Dharma pernah menceritakan tentang puteranya yang susah pulang ke rumah karena cita-citanya yang ingin jadi penyanyi dimulai dari mengamen sambil mengkoordinir anak jalanan. Koq ya sama kayak kamu." beliau menatapku sejenak dan meneruskan kalimatnya "Kenapa malah milih hidup di jalan toh, Nak? Bapakmu mulai sakit itu mikirin kamu. Padahal kamu bisa ngurus bisnis bapakmu, bukannya ngurus anak jalanan. Nggak jelas tujuannya. Apa kerennya kamu milih begini?"
Menarik nafas panjang aku bersiap menjelaskan pilihan hidupku mengamen di jalan. "Maaf Pak, ini memang jalan hidup saya memilih jadi pengamen. Saya tahu Bapak bukan orang yang menilai seseorang dari penampilan dan status. Tapi, saat Bapak bilang kalau pekerjaan saya nggak keren, maaf Pak. Bapak menyinggung saya. Hidup anak jalanan memang nggak jelas, mereka seolah nggak punya masa depan yang baik. Justru saya ingin membuat hidup mereka lebih jelas, Pak. Saya ingin membuat mereka punya masa depan."
"Tapi, Nak. Orang jaman sekarang hanya akan melirik kamu sebelah mata. Apalagi wanita, mana ada wanita high class yang mau sama pengamen?"
"Saya yakin, Pak. Masih ada banyak wanita baik yang nggak menganggap remeh pengamen jalanan seperti saya. Saya bisa buktikan ke Bapak, kalau saya bisa sukses dengan pekerjaan saya sekarang. Dan definisi wanita high class menurut saya adalah wanita yang menerima saya apa adanya"
"Saya senang sekali mendengar semangat anak muda seperti kamu. Kapan-kapan main ya ke rumah Om, nanti Om kenalkan dengan anak gadis Om. Ini anaknya, namanya Maya." Jelasnya sambil menunjukkan foto perempuan manis berjilbab. "Titip salam saya buat Pak Dharma kalau kamu pulang, bilang dari teman di proyek 85"
Begitulah pertemuanku dengan Bapak itu. Beberapa hari berlalu, aku melihat gadis yang diperlihatkan fotonya di angkot sambil metakinkan bahwa memang benar dia orangnya. Dan benar sekali namanya Maya. Ingin sekali aku mengenal Maya lebih dekat, tapi sayang saat itu aku masih pengamen kelas bawah.
Dua tahun berlalu, aku mulai membuktikan bahwa aku bukan pengamen abal-abal, bukan hanya preman tukang palak anak-anak jalanan. Aku mulai dipanggil manggung di beberapa cafe, setiap pagi aku mengajari anak buahku bermain alat musik, malah justru mereka yang lolos ke ajang pencari bakat, setiap sore aku kumpulkan uang puluhan ribu untuk biaya sekolah anak buahku yang masih SD.
Saking lamanya aku tak pulang ke rumah, baru kali ini aku bertemu dengannya lagi, Maya. Sebenarnya aku sudah ingin menemui ayahnya untuk membuktikan bahwa hidup si pengamen sudah lumayan berubah. Tapi, aku masih malu untuk mendekati Maya. Dari percakapan kami di perjalanan, aku begitu cepat merasakan bahwa dialah wanita yang tepat untukku. Senyumnya seolah mengajakku berumah tangga. Semoga aku cepat punya modal untuk mendekatinya, minimal rumah sendiri lah.
Dua tahun kemudian, Alhamdulillah status pengamenku berubah jadi manager band. Beberapa personelnya adalah anak buahku, yang lainnya jadi preman untuk mengkoordinir anak jalanan di sekitar Blok M, Lebak Bulus dan Kampung Rambutan. Sudah saatnya aku pulang ke rumah sambil menampakkan mobil baruku pada Papi. Beliau harus tahu bahwa aku bisa sukses dengan pilihanku sendiri.
Kondisi Papi mulai sakit-sakitan, tidak segagah beliau yang ada dalam foto di ruang keluarga. Aku mengitari komplek dengan mobil baruku. Dia lagi, Maya, melenggang di sisi jalan dengan jilbab panjangnya. Aku tak ragu, dan kami akhirnya bertemu lagi.
Kali ini di depan pagar rumahnya, aku sudah siap menemui ayah Maya, membuktikan bahwa aku bisa sukses memimpin ratusan anak jalanan di Kebayoran. Semoga jadi bahan pertimbangan bahwa aku akan sukses memimpin Maya dalam kehidupan. Karena aku yakin bahwa seseorang tak seharusnya dilihat dari statusnya, tapi bagaimana ia memberi manfaat untuk orang lain. Tapi, bagaimana dengan Maya?
----- *** -----
"May, koq malah bengong? Papa kamu mana? Aku mau kenalan sekalian pamit" saya tersadar saat H mengibaskan tangannya.
Entah apa yang mereka obrolkan, mereka seperti sudah lama kenal. Saat saya menyuguhkan teh, tiba-tiba Papa bertanya "Maya? Gimana? Mau taaruf dulu atau langsung didatangkan Pak Dharma?"
Saya memandang H lalu papa, lalu memandang H lagi yang tersenyum seolah menyuruh saya mengiyakan. Aku mengangguk sambil menjawab "Tapi jangan menghilang lagi ya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih Sudah Berkunjung. Silakan Tinggalkan Jejak, dan Beri Masukan Untuk Kemajuan :)